Wednesday, January 8, 2014

ESENSI SENGGAKAN PADA DANGDUT KOPLO SEBAGAI IDENTITAS MUSIKAL



Michael Haryo Bagus Raditya
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK
Dangdut dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan seiring dengan kemajuan zaman, pola selera masyarakat dan budaya yang ada. Dalam keberlangsungannya pertunjukan dangdut Koplo mempunyai banyak unsur pertunjukan yang baru. Pada hal ini unsur menarik itu adalah Senggakan. Dalam permainannya Senggakan mempunyai fungsi yang kuat dalam setiap musikal yang dipertunjukan oleh orkes melayu. Senggakan-Senggakan ini dalam permainannya memberikan patahan-patahan serta ciri khas tersendiri yang membedakan antara dangdut dan dangdut Koplo dalam musikalitasnya. Dangdut Koplo dapat berhasil dengan sukses karena adanya habitus masyarakat. Dalam hal ini adalah Senggakan, dann habitus Senggakan dimiliki oleh masyarakat Jawa. Habitus tersebut berimplikasi kepada interkasi yang terjadi, partisipasi terhadap Senggakan menunjang eksistensi dari Dangdut Koplo. Setelah ditilik lebih dalam, ternyata Senggakan mempunyai fungsi dan guna pada masyarakat. Senggakan tidak hanya sebagai ekspresi kultural dan musikal tetapi mempunyai esensi dalam sosial dan kultural. Atas hal tersebutlah, mengapa Senggakan menjadi identitas musikal dan kultural dari masyarakat memandang Dangdut Koplo.

Kata kunci: Senggakan, Dangdut Koplo, Identitas,  Habitus, Esensi


ABSTRACT
In its development, dangdut has been evolving in line with the globalization era, the society preference and the cultural pattern. The current performance of dangdut Koplo has many new elements. Its interesting element is called the Senggakan. In each musical performance showed by the Melayu orchestra, the Senggakan plays major function. The Senggakan provides beats and unique touch that make dangdut Koplo distinct from dangdut in terms of its musicality. The success of dangdut Koplo is caused due to the existence of habitus society, i.e. the Senggakan and the Senggakan habitus owned by Javanese society. That habitus has the implication to the existing interaction. The participation on Senggakan bears the existence of Dangdut Koplo. After scrutinizing further, the Senggakan is functioned and equipped by the society as cultural and musical expression. Moreover, the Senggakan also circulates social and cultural essences for the society. The Senggakan becomes accordingly the musical and cultural identity of the society observing dangdut Koplo.

Keywords: Senggakan; Dangdut Koplo; identity; habitus; essence




PENGANTAR
Dangdut, siapa yang tidak mengenal jenis musik populer Indonesia yang satu ini, musik yang telah mempunyai nilai tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Sudah menjadi jaminan ketika sebuah acara menampilkan grup Dangdut maka akan ada keramaian. Hal tersebut digunakan oleh beberapa partai politik di Indonesia dalam mengumpulkan massa. Lewat alunan musik, syair dan goyang, dangdut memunculkan loyalitas kebersamaan yang menyeluruh. Rasa yang muncul ini mampu membuat Dangdut diterima dalam hati masyarakat. Pada dasarnya, asal mula Dangdut adalah campuran dari beberapa jenis musik. Hal ini mengindikasikan bahwa Dangdut merupakan campuran atau kombinasi dari musik-musik yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia. Weintraub (2010:82) menyatakan bahwa:
Dangdut has been constructed as a natural reflection of the “rakyat”, as opposed to pop Indonesia, rock, jazz or other forms in which musical elements are largely imported from Europe or the United States.
Wangi Indriya (2006:190) juga menyatakan bahwa “orang Indonesia sekarang suka sekali dengan Dangdut. Bahkan di daerah pelosok sekalipun Dangdut disukai masyarakat, belum ada apa-apa, penonton sudah minta Dangdut”. Simatupang (1996:67) yang mengamati fenomona ini di tahun 1990an menyatakan bahwa:
Dangdut menjadi program acara utama hiburan di TVRI, sekitar 40-60% dari 55 menit acara hiburan musik yang ditayangkan TVRI diisi oleh musik Dangdut. Dangdut  dikemas lewat program acara Aneka Ria Safari Nusantara, Album Minggu, Kamera Ria, Musik Malam Minggu, dan sebagainya.
Musik dalam tataran yang lebih luas mampu mempengaruhi pola selera masyarakat. Musik merupakan salah satu bentuk seni yang selalu mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya zaman, kebudayaan, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya genre baru dalam musik yang tidak terlepas dari kreativitas para komposer, penulis lagu, musisi dan kebudayaan setempat.
            Dangdut dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan dan variasi dalam musikalitas dan pertunjukannya. Hal tersebut dapat dilihat pada jenis dangdut yang digandrungi kini adalah, Dangdut Koplo. Pada dasarnya, istilah Koplo itu sendiri masih dalam batas abu-abu. Dalam KBBI Edisi Keempat Tahun 2008, terdapat kata Koplo (kop.lo) yang berartikan dungu (dalam bahasa jawa). Terdapat makna lainnya, yakni, Koplo pil yang mengandung zat psikotropika. Pembacaan lainnya yang membahas tentang Koplo adalah Andrew Weintraub, beliau menerangkan bahwa istilah Koplo yang mengacu pada gaya pementasan, irama gendang dan tempo-cepat. Menurut pemahamannya istilah ini berasal dari “pil Koplo”, musik dengan tempo cepat ini merupakan cara mengungkapkan perasaan teler tentang gaya tarian yang dianggap orang sebagai hal yang “sulit dipercaya” atau “ajaib”.
Koplo tercipta pada awal sampai pertengahan 1990-an, dan meledak pada era pasca-Soeharto. Dangdut Koplo pertama kali memang dikenal di Jawa Timur, tetapi tidak dapat diperkirakan asal muasal dari musik tersebut. Koplo diperkirakan tidak asli dari Jawa Timur, tetapi hanya berkembang saja. Anggapan atas perkembangan ini dikaitkan dengan alat musik yang paling dominan yaitu pola tabuhan kendang. Weintraub (2012:252)  menyatakan bahwa kendangan Jaipongan Jawa Barat masuk ke Jawa Timur sekitar tahun 1980an, dan berkembang pada permainan musik di Jawa Timur dengan cita rasa Jawa Timur. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri perkembangannya yang menyebar secara luas.
Dalam perkembangan dan persebarannya, Dangdut Koplo tersebar dari Jawa Timur, dan persebaran paling luasnya terjadi di jalur Pantura. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya grup Dangdut Koplo di sepanjang jalur Pantura. Lagu Dangdut Koplo kerap terdengar di sepanjang jalan Pantura bila kita menaiki transportasi massa disana. Persebaran Dangdut Koplo ke daerah lainya dapat dirasakan ketika fenomena Goyang Ngebor Inul masuk ke industri musik Nasional. Persebaran Koplo makin luas bahkan sporadis. Dangdut Koplo mempunyai tempat tersendiri pada pertelevisian Indonesia, bahkan Dangdut Koplo hampir menggantikan peran Dangdut di televisi. 
Pada faktor musik, Dangdut Koplo sangat kental dengan pengaruh berbagai gaya musikal, termasuk rock, house, Dangdut dan Jaipongan. Pada iringan musiknya, Dangdut Koplo dominasi kendang Dangdut yang bersuarakan “dang”. Permainan “dang” lebih dominan dibanding “dut”, bunyi ini dihasilkan melalui teknik menggeser tangan di lapisan kulit/membrane kendang. Perbedaan bunyi ini memberikan ruang joget tersendiri pada Dangdut. Sementara dalam mengisi hal yang sama, pada Dangdut Koplo melakukan banyak Senggakan-Senggakan seperti “dum plak ting ting joss”, “yok ya”, “ek ya” atau “asik asik” bahkan “buka sitik joss” (buka sedikit joss). Kerap kali Senggakan dibarengi dengan goyangan-goyangan penyanyi yang aduhai. Rentetan tersebut menjadi satu kesatuan dan memberi warna yang berbeda dalam Dangdut Koplo.
Senggakan sebagai hal kecil mempunyai peran yang kuat dalam musikal dan pertunjukannya. Senggakan dalam pelakasanaannya dianggap sebagai peramai suasana sehingga acara menjadi lebih meriah dan lebih terhanyut. Senggakan dapat diartikan sebagai pelengkap. Namun apakah para penikmat Dangdut Koplo bisa mendengarkan Dangdut Koplo tanpa adanya Senggakan. Penelusuran Senggakan sebagai budaya masyarakat Jawa dianggap sebagai suatu nilai yang diperlukan. Dalam Senggakan muncul partisipasi, dimana terkadang para pemain dan penonton melakukan Senggakan, atau menyela dengan kata-kata terpola dan tidak terpola. Hal tersebut menjadi menarik karena dalam pembacaan secara tekstual dari pola ritmik pada lagu yang dibawakan oleh OM Dangdut Koplo. Sudah barang tentu terjadi interlocking-interlocking yang dimainkan dalam setiap lagunya.  Senggakan memang dianggap hal yang sederhana tetapi dalam keberlangsungannya mempunyai makna kebudayaan, esensi, guna dan fungsi. Bahkan Senggakan menjadi identitas musikal pada Dangdut Koplo.  

PEMBAHASAN
Senggakan terbukti membedakan tempo musik, patahan-patahan musik serta memberikan efek yang lebih enerjik dan lebih partisipasif dalam keberlangsungannya. Senggakan dianggap sebagai unsur yang menjadikan alunan suara yang khas dalam setiap permainannya. Jenis Senggakan yang tercipta pun muncul beragam berdasarakan repertoar lagu Dangdut Koplo yang dimainkan. Terkait dengan hal itu, Senggakan terbentuk berdasarkan kontur budaya masyarakat yang mengalami penubuhan pada pelakunya. Keterkaitan Senggakan pada Dangdut Koplo akan lebih terlihat dan tampak dalam keberlangsungannya baik disadari maupun tidak disadari.

Habitus Senggakan Dangdut Koplo
Pada keberlangsungannya, Senggakan mempunyai kesatuan lain dengan unsur musik lainnya dan membentuk makna baru dalam permainannya. Pengaplikasian Senggakan sebenarnya dapat dilakukan oleh semua orang, tetapi keberhasilan Senggakan itu dapat ditentukan dari orang yang memainkan dan orang yang mendengarkan. Dalam hal ini, baik pelaku atau penonton akan dapat menerima Senggakan dengan baik ketika mereka telah mempunyai habitus atas Senggakan tersebut. Pada dasarnya, Habitus menurut Bourdieu (1990:53) merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak harus selalu disadari, yang kemudian menjadi sumber penggerak dalam lingkungan sosial tertentu. Dari hal tersebut menjelaskan bagaimana habitus menjadi sebuah ketrampilan yang menjadi tindakan kebiasaan baik disadari maupun tidak, kemudian mempunyai implikasi yang luas terhadap keberlangsungannya di kehidupan nyata. Keterampilan tersebut terjadi tidak semata-mata begitu saja, tetapi terjadi pengulangan secara terus menerus, seperti yang diungkapkan Bourdieu (1990:53):
The habitus, the durably installed generative principle of regulated improvisations, produces practices which tend to reproduce the regularities immanent in the objective conditions of the production of their generative principle
Bourdieu menekankan bahwa habitus merupakan sebuah keteraturan terbentuk karena adanya pembiasaan yang berulang. Pembiasaan yang berulang terjadi karena adanya latihan yang terus menerus hingga membentuk keteraturan yang bersifat immanent. Habitus merupakan struktur yang menstruktur seorang individu dalam disposisi sehingga menubuh di luar kesadaran si individu. Pada dasarnya Habitus merupakan kebiasaan yang ada pada tubuh, sehingga semuanya seperti bersifat otomatis atau bekerja diluar kesadaran. Habitus terjadi jika terkonstruk di kepala individu, terbiasa dengan praktik dan lingkungan, dan toksonomi praktis (Bourdieu:1990:53).
Dari hal tersebut pembiasaan terjadi karena adanya latihan yang berulang, latihan yang berulang dapat tercipta berdasarkan apa yang menjadi habitus itu sendiri, seperti halnya budaya, keluarga, lingkungan, sekolah, dan banyak lagi. Terkait dengan hal tersebut Bourdieu (1994:1) menjelaskan bahwa:
culture as a gift of nature, scientific observation shows that cultural needs are the product of upbringing and education: surveys establish that all cultural practices (museum visits, concert-going, reading etc.) , and preferences in literature, painting or music, are closely linked to educational level (measured by qualifications or length of schooling) and secondarily to social origin.
Dari hal tersebut menjelaskan bahwa seluruh praktik kultural seperti halnya musik sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan dan lingkungan sosial. Tingkat praktik kultural membuat peluang-peluang dalam mengkonstruksi masyarakat dibawah sadar mereka. Bourdieu mempercayai bahwa asal usul sosial memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pengetahuan seseorang.
Terjadinya Senggakan dalam artian yang hakiki sebenarnya belum diketahui, tetapi Senggakan dalam konsep musik telah terjadi pada seni karawitan. Pada dasarnya, Poerwadarminta (1939:557) dan Murwaningrum (2012:5) menyatakan bahwa:
Senggakan memiliki kata dasar senggak yang memiliki arti njuwara gijak aramé mbarengi (njamboengi) oenining gamelan (sinden). Dari cara penyajiannya, Senggakan di dalam karawitan memiliki kesan rasa ramé. Dengan demikian Senggakan dapat diartikan vokal bersama atau tunggal dengan menggunakan cakep­an parikan dan atau serangkaian kata-kata (terkadang tanpa makna) yang berfungsi untuk mendukung terwujudnya suasana ramai dalam sajian suatu gendhing.
Dalam keberlangsungannya, ketika Senggakan dapat dilakukan dengan vocal bersama atau tunggal dan bermakna atau sebaliknya, maka Senggakan dapat diartikan sebagai unsur yang fleksibel. Pemaknaan fleksible disini adalah dapat diintepretasi dan diartikan oleh siapa saja terkait dengan teks dan kontekstual. Keberadaan Senggakan yang fleksibel digunakan secara bebas bagi mereka yang mempunyai habitus dan intepretasi yang baik. Senggakan telah berkembang sedemikan rupa dalam penggunaannya. Posisi Senggakan pun tidak sendiri, dalam penerapannya Senggakan saling berhubungan dengan alat musik yang dimainkan. Seperti yang diungkapkan Budiarti (2006) menyatakan bahwa:
Senggakan yang mengikuti pola tabuhan kendhang penerapannya sewaktu-waktu menyesuaikan pola tabuhan kendhang. Cakepan yang digunakan biasanya berupa frase tertentu seperti “telulululu, ho’ yah-ho’ yah, hae-hae, domak tingting jos, esod-esod, eh-oh-eh, ep-op-ep” dan lain-lain. Adapun Senggakan pematut diterapkan pada irama lancar dan irama dadi yang pada umumnya menggunakan cakepandhowa lolo loing”. Selain Senggakan-Senggakan di atas ada juga interaktif atau dialog antara sindhen dengan penggerong atau pengrawit.
Senggakan dalam permainannya menyatu dengan permainan kendang, dan dalam keberlangsungannya Senggakan tidak lagi hanya pada suara tetapi mengikuti dan saling melengkapi dengan lainnya.
Dalam keberlangsungannya, musik Dangdut Koplo pun muncul Senggakan-Senggakan sebagai salah satu unsur dalam musik dan pertunjukannya. Sebenarnya para pelaku menyebutkan kata-kata lain untuk menyebutkan hal tersebut, yakni jep-jep-an. Penggunaan kata Senggakan atau jep-jep-an sering digunakan dalam penyebutan gaya musikal ini, tetapi para penonton lebih mengenalnya pada kata-kata Senggakan. Hal tersebut tidak dapat bisa dipungkiri karena habitus masyarakat yang berasal dari Jawa dan telah mengetahui Karawitan secara lebih mendalam, sebagai musik dasar masyarakat. Pengaruh Senggakan dalam karawitan pun ikut membekas pada habitus kultural masyarakat, dimana banyak implikasi yang muncul seperti halnya dalam penggunaan beberapa kata-kata yang tetap digunakan untuk merepresentasikan Senggakan dalam bentuknya.
Sebenarnya penggunaan kata “Senggakan” dalam Dangdut Koplo saja sudah menjadi wujud dari pengaruh kultur yang tidak disadari dalam masyarakat. Perkataan Senggakan pun dalam artiannya mempunyai esensi yang kuat, hal tersebut dapat dilihat dengan pengaplikasian Senggakan pada Dangdut Koplo. Berdasarkan esensi yang diketahui oleh para pemain, Senggakan tidak hanya sebagai variasi-variasi dalam permainan, tetapi menjadi karakteristik dalam segala bentuk permainan dan repertoarnya. Para pemain telah mempunyai pengetahuan tentang Senggakan secara tidak sadar ketika mereka mendengarkan karawitan, sehingga dalam permainannya mempunyai unsur-unsur musikal yang sama. Pada permainannya, Senggakan mempunyai implikasi lain pada Dangdut Koplo, hal tersebut dikatakan oleh pemain OM New Satria, “yo Senggakan atau jep-jep-an itu variasi tapi bikin ciri khas tersendiri mas”. Senggakan yang notabene merupakan unsur karawitan menjadi warna baru dalam dunia Dangdut. Para pemain Dangdut Koplo yang secara keseluruhan berasal dari tanah Jawa pun mempunyai landasan pengetahuan atas hal tersebut. Pada hal ini, esensi Senggakan pada hal ini dimiliki oleh para pemain sebagai penyaji sebuah pertunjukan.
Pengetahuan atas Senggakan tersebut oleh para pemain pun diterapkan pada permainan Dangdut Koplo dalam repertoar-repertoar lagu. Walaupun demikian para pemain pun harus melakukan latihan pembiasaan atas penerapan Senggakan pada Dangdut Koplo. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Peppy dari OM New Satria
“Biasane Senggakanne niru jawa timuran terus musisine do nyimak di rumah masing-masing, cara belajare Nyimak, terus nek ono lagu anyar baru latihan mas, tapi ya tetep melu pengendangnya mas, pengendang New Satria ikuniru sera jadi yang lain juga ngikut”
Dalam penerapan Senggakan, terbukti ada proses belajar kembali dengan menyimak lagu-lagu yang dijadikan model dalam permainannya. Para pemain mempelajari dan melakukan latihan secara terus menerus, sehingga permainan atas Senggakan dapat berjalan dengan baik. Dari hal di atas juga telah terlihat bahwa ada model atau contoh yang diacu dalam permainan Senggakan pada Dangdut Koplo, tetapi dalam keberlangsungannya, permainan Senggakan tetap didasarkan pada intepretasi dan habitus dari pelaku. Senggakan pun tercipta berdasarkan para penciptanya, karena setiap pembuat Senggakan mempunyai gaya yang berbeda, tetapi ada sebuah ruang yang dapat ditarik lurus bahwa hal tersebut merupakan Senggakan. Seperti halnya dalam permainan sebuah repertoar Dangdut pada bagian reff yang berjudul “Oplosan”:
A4 5B
C9.jpg
D10[1]
Dari gambar kendangan diatas, gambar A merupakan kendangan OM Sera dan gambar B merupakan kendangan OM New Satria, ada perbedaan dalam bagian depan yakni dalam teknik pemukulan gendang. Gambar selanjutnya adalah gambar C dan D, gambar C merupakan kendangan OM Sera, dan gambar D merupakan kendangan dari OM New Satria. Pada gambar C dan D jelas terlihat perbedaan cara ketukan dan pukulan kendang, tetapi dalam repertoarnya tetap dapat berjalan dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa jenis pukulan kendangan dan Senggakan tetap didasrakan pada habitus dan intepretasi dari penyaji, walaupun ada acuan sebagai contoh, tetapi gaya tetap tidak bisa ditinggalkan dan bahkan menjadi warna tersendiri dalam keberlangsungannya. Senggakan dalam pengaplikasiannya sangatlah atraktif. Hal tersebut dirasa sangat berat, karena harus terjalinnya antara penonton dan penyaji dengan pengetahuan dan intepretasi yang sama. Dalam hal ini habitus sangat berperan kuat, wilayah budaya sangat melandasi habitus dari individu maupun kelompok, dan pada Senggakan Dangdut Koplo ini pun terjadi berdasarkan habitus individu dan habitus masyarakat.


Senggakan dan Implikasinya pada Dangdut Koplo
Senggakan sebagai unsur musikal dalam Dangdut Koplo juga membentuk tatanan-tatanan dalam permainannya. Dalam pengaplikasiannya, Senggakan merupakan unsur musikal di dalam pertunjukan dalam merespons stimulus gendhing. Berhubungan dengan itu, Senggakan pada kendang tidak berdiri begitu saja, adapun Senggakan yang dibuat oleh pemain lainnya, baik dari alat musik, dari teriakan MC atau pemain tamborin dan penyanyi, serta goyangan penyanyi sebagai puncak dari Senggakan. Seperti halnya:
Kendang[2]
6.jpg
Musik Lain
Tamborin akan mengikuti permainan nada 55 dan 45 dan diakhiri dengan nada 45
Pemain musik lainnya akan mengikuti permainan kendang 60 dan diakhiri dengan akhiran oleh semua pemain di kendang 45 yang terakhir.
Vocal
Eh hah       yak yak yak yak yak yak yak yak yak yak     Bukak Sitik  Joss
Joged
-----------------------------Joged  biasa--------------------------------    +
+: Joged Berhenti dengan goyangan yang sensual.
Kendang
9.jpg
Musik Lain
Alat musik seperti gitar, bass, drum, keyboard dan tamborin akan bermain secara serentak pada nada 60
Vocal
Icik icik                  icik icik                 icik icik             he ha heeeeee nyoh
Joged
-----------------------------Joged  biasa---------------------------------     +
+: Joged Berhenti dengan goyangan yang sensual.

Kendang[3]
10
Musik Lain
Alat musik seperti gitar, bass, drum, keyboard akan bermain secara serentak pada nada 60 dan akan bermain secara menyambung di akhir bait, sedangkan pemain tamborin bermain pada nada 45 dan 61 dan diakhiri dengan nada menyambung pada bagian akhir bait.
Vocal
Eaaaaaaaaaaa            eaaaaaaaaaa          eaaaaaaaa             jogojosgojos
Joged
-----------------------------Joged  biasa--------------------------------      +
+: Joged Berhenti dengan goyangan yang sensual.
Dari proses Senggakan yang terjadi, dapat dilihat bahwa Senggakan tidak hanya terdiri dari kendang, tetapi ada penambahan seperti halnya alat musik lain, suara vocal penyanyi dan MC, dan Joged dari para penyanyi serta dari pemain musik lainnya. Hal ini membentuk Senggakan menjadi satu kesatuan yang utuh, dan semakin kuat dalam keberlangsungannya.
            Pola-pola permainan kendang dalam keberlangsungannya memang menjadi nyawa dalam musik Dangdut Koplo ini, tetapi dalam keberlangsungan permainan kendang, permainan musik lain juga turut mengikuti pola kendangan, sehingga pola kendangan terdengar tidak polos atau terisi.  Pada dasarnya adapun fungsi dari suara ramai dan variatif, Turino (2008:36) menjelaskan bahwa:
Functioned to inspire or support participation, functioned to enhance social bonding, a goal that often underlies participatory traditions, and dialectically grew out or were the result of partipatory values and practice.
Dari sinilah dapat dikatakan bahwa suara menjadi hal penting dalam sebuah permainan. Senggakan muncul karena sebuah keteraturan atas interaksi. Selain suara isian musik, penambahan vokal pada Senggakan juga memberi warna lebih dalam permainannya, suara vokal dalam Senggakan seakan menjadi symbol tersendiri dalam permainannya. Suara teriakan menyenggak yang terpola dan tidak terpola menjadi warna tersendiri, sesekali suara teriakan yang mengikuti permainan kendang, teriakan-teriakan seperti, “Bukak Sitik Joss”, “Icik-icik Ehem-ehem”, “Geli Dikit nyoh”, “ea e ea e ea e”, “ayoo mass” dan masih banyak lagi teriakan yang lebih bersifat vulgar dan menggoda. Tetapi pada artian yang lebih luas, teriakan tersebut bermakna lebih transparan dan lebih alami, sebagai bentuk ekspresi kebebasan.
Senggakan dalam Dangdut Koplo merupakan wujud dari “participatory performance”, tidak hanya menjadi “presentational performance”. Turino (2008:26) menyatakan bahwa:
Participatory performance is a special type of artistic practice in which there are no artist-audience distinctions, only participants and potential participants performing different roles, and the primary goal is to involve the maximum number of people n some performance role. Presentational performance, is contrast, refers to situations where one group of people, the artists, prepare and provide music for an-other group, the audience, who do not participate in making the music or dancing.
Dari hal diatas menjelaskan bahwa terjadi interaksi yang besar pada Senggakan dalam Dangdut Koplo. Penonton dan pemain seakan tidak ada jarak, tidak ada beda, dan saling berinteraksi dalam merespons aktifitas yang ada. Aktifitas seperti halnya Penyanyi menanyakan judul lagu yang diinginkan, mengajak bernyanyi, menggoda para penonton yang bergoyang, dan banyak lagi, sedangkan pada lingkup pemusik, pemusik juga melihat dari joged dari penonton, ketika joged sudah berlangsung, maka tempo dan joged akan di klimakskan dengan iringan musik yang lebih cepat dan semangat. Sesekali para pemusik ikut mengikuti joged para penonton atau penyanyi, mengajak bergurau degan penonton dan banyak lagi. Sedangkan pada lingkup penonton, penonton tidak hanya mejadi penonton pasif, tetapi penonton mempunyai porsi yang besar dalam keberlangsungannya. Permintaan penonton seperti halnya lagu, joged dan penyanyi pun menjadi utama dalam pertunjukan ini.
            Interaksi yang terjadi antara penyanyi, pemusik dan penonton menjadi nyawa dalam pertunjukannya. Partispasi dari penonton menjadi sangat penting dalam pertunjukannya. Baik penonton bagian depan, tengah dan belakang, mereka terbagi berdasarkan cara menikmatinya saja, tetapi muncul interaksi baik secara eksplisit maupun implisit sebagai ekspresi mereka dalam berinteraksi. Dari sini dapat dikatakan bahwa adanya hubungan simbiosis mutualisme dalam keberadaan pertunjukan Dangdut Koplo ini, mereka sama-sama memerlukan dan saling berhubungan. Terlebih pada Senggakan, suara dan joged pun menjadi interaksi yang paling penting dalam pertunjukan, seperti halnya suara teriakan pada Senggakan, joged dan gekstur tubuh para penonton dalam menikmati Senggakan, ketika para penyanyi melakukan goyangan patah, maka para penonton mengoyangkan tangan atau kaki dalam memberi gong pada akhir Senggakan. Respon dari Senggakan tersebut juga beraneka ragam, ada yang melakukan respon diam, tetap berjoged, atau meghentak seirama dengan Senggakan dan patahan-patahan.
            Dengan terjadinya interaksi antar para penonton, pemusik dan penyanyi, maka maksud sebuah pertunjukan dapat tersampaikan dengan baik. Turino (2008:33)  menekankan bahwa:
Participatory values are distinctive in that the success of a performance is more importantly judged by the degree and intensity of participation than by some abstracted assessment of the musical sound quality
Partisipasi dari setiap element pertunjukan menjadikan simbol tersampaikannya pesan dan makna dari sebuah pertunjukan dan diintepretasikan oleh para penonton dengan Senggakan, teriakan dan joged. Partisipasi dan interaksi menjadi point penting dalam keberlangsungan Dangdut Koplo, dimana itu semua tertuang pada Senggakan, dan menjadikan musik Dangdut Koplo sebagai satu keutuhan.

Keberlangsungan Senggakan Dangdut Koplo
Dangdut Koplo dapat menjaga eksistensinya bahkan menjadi acuan musik sekarang tidak semata-mata karena musikalitas atau salah satu unsur dalam pertunjukan, tetapi semua unsur membentuk satu garis linear yang memberikan warna baru dalam pertunjukan. Keterkaitan antar unsur tidak hanya dilihat dari relasi yang terjadi, tetapi ada nilai lain dalam keberlangsungannya, yakni nilai fungsi dan guna dari hal tersebut. Adapun fungsi dan guna dari Senggakan sebagai unsur dalam Dangdut Koplo. Berhubungan dengan fungsi dan guna, Merriam (1964:222-226) menyatakan bahwa:
Music can function as a mechanism of emotional relase for a large group of people acting together.. an important function of music, the, is the opportunity it gives for a variety of emotional expressions- the release of otherwise unexpressible thoughts and ideas, the correlation of a wide variety of emotions and music, the opportunity to “let off steam” and perhaps to resolve social conflicts, function: the function of aesthetic enjoyment, function of entertainment, function of communication, function of symbolic representation and function of physical response, function of enforcing conformity to social norms, function of validation of social institutions and religious rituals, function of contribution to the continuity and stability of cultre, function of contribution to the interagation of society.
Sedangkan pada nilai kegunaan, Merriam (1964:210)  dalam bukunya juga menjelaskan nilai use dalam kesenian, yakni:
When we speak of the uses of music, we are referring to the ways in which music is employed in human society, to the habitual practice or customary exercise of music either as a thing in itself or in conjunction with other activities.. music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper junction . Use then, refers to the situation in which music is employed in human action.
Dari hal tersebut dapat dilihat adanya perbedaan yang jelas antara fungsi dan guna dari sebuah hal. Sesuai dengan pernyataan dari Merriam perihal fungsi, bila melihat Senggakan dari unsur fungsi, ada beberapa fungsi yang mewakili bentuk dari Senggakan, seperti halnya sebagai pengungkapan emosional, bentuk dari penghayatan estetis, media hiburan, komunikasi, perlambangan, reaksi jasmani, kesinambungan budaya dan pengintegrasian masyarakat. Senggakan yang tertuang pada pola kendangan yang berimplikasi pada gerakan dan suara menjadikan Senggakan sebagai ungkapan emosional, selain itu penghayatan estetis menurut intepretasi dari para pelaku juga terjadi. Senggakan dalam permainannya sudah barang tentu menjadi media hiburan.
Pada nilai kegunaan, Merriam menegaskan bahwa kegunaan lebih mengutamankan musik dalam kehidupan sosialnya, dapat dikatakan disini adalah konteks dari teks menjadi perihal utama dalam nilai guna. Dalam keberlangsungannya, musik mempunyai nilai guna pada situasi terkini dan menjadikan musik bagian dari kehidupan. Konteks pada kehidupan dalam musik menjadi nilai kegunaan dari sebuah kesenian. Dalam hal ini, khususnya Senggakan sebagai objek utama dari nilai guna. Senggakan dalam keberlangsungannya juga terjadi tidak begitu saja, ada konteks budaya yang terjadi. Bila dilihat dari habitusnya, sudah dijelaskan bahwa Senggakan muncul dari kebudayaan Jawa, dimana hal tersebut paling bisa dilihat pada permainan musik karawitan, hal tersebut menubuh dan menjadikan nilai wujud ketika dimainkan. Senggakan tidak hadir begitu saja, Senggakan bisa dikatakan sebagai patahan-patahan dan resistensi dari konservatifitas dari sebuah permainan, yakni etika-etika dalam bermain karawitan yang mempunyai sakralitas yang tinggi, sedangkan pada Senggakan hal tersebut seakan menjadi klimaks atau potongan-potongan yang melawan keteraturan.
Dalam hal ini, para pelantun dan penikmat mempunyai pemahaman terkait dengan fungsi dan guna dari Senggakan pada Dangdut Koplo. Setelah dilakukan observasi dan wawancara terlihat bahwa secara sengaja atau tidak disengaja, mereka telah menikmati implikasi dari Senggakan itu sendiri. Sepert halnya Peppy yang menyatakan bahwa: “Yo Senggakan atau jep-jep-an itu variasi tetapi buat ciri khas tersendiri, bisa buat lebih bebas, ada hentakannya, jadi lebih semangat perasaannya”. Implikasi nada-nada minor maupun mayor yang dibarengi dengan Senggakan membuat ada perasaan tidak seperti biasanya, dan pada hal ini adalah adanya perasaan lebih bebas yang menggambarkan perasaan yang lebih semangat ketika mendengarkan repertoar lagu-lagu Dangdut Koplo. Perasaan lebih bebas menggambarkan adanya kebebasan dari sebuah system terdahulu, seperti halnya etika, budi pekerti, dan banyak lagi yang mempunyai kekangan dan kuasa dalam penerapannya. Perasaan lebih bebas menjadikan sebuah tanda bahwa Senggakan bisa menjadi alat resistensi secara halus dalam melawan sistem yang ada. Bila ditilik kembali, adalah perkara habitus yang menjadikan hal tersebut menjadi suatu hegemoni tersendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi dan guna dari Senggakan terhadap Dangdut Koplo itu sendiri, terhadap penonton dan penyaji, mempunyai artian yang sangat luas dalam keberlangsungannya. Fungsi sebagai tujuan dari pelaksanaan dan guna merupakan kekuatan konteks yang menjadi alasan dari Senggakan tersebut.

Senggakan sebagai Identitas dalam Dangdut Koplo
Pada dasarnya, terkait dengan identitas itu sendiri, Hall (1990:25,223)[4] dan Barker (2004:22) memberikan dua pandangannya tentang identitas kultural, yakni: [5]
Pandangan esensialime dan anti esensialisme. Pandangan yang pertama, identitas kultural dimaknai sebagai sesuatu yang satu, budaya yang digunakan bersama, semacam ‘jati diri’ kolektif, bersembunyi di dalam banyak hal yang lain, lebih superficial atau artifisialitas yang dipaksakan pada ‘diri’. Di mana kelompok orang dengan sebuah sejarah bersama dan keturunan yang didasarkan dalam kesamaan. Dengan pengertian seperti ini identitas kultural merefleksikan pengalaman sejarah yang sama dan berbagai kode-kode kultural yang membawa kita sebagai satu masyarakat. Pandangan yang kedua, sebuah persoalan menjadi sepadan dengan being. Jauh dari menjadi ‘selesai’ (fixed) mereka adalah subjek dari keberlanjutan ‘bermain’ (play) dari sejarah, kebudayaan dan kekuasaan.
Sesuatu yang bersifat kolektif menyebabkan sebuah hal mempunyai kekuatan kebersamaan lebih kuat. Dari hal ini dapat dilihat bahwa identitas juga membutuhkan penubuhan dalam keberlangsungannya. Penubuhan bisa bersifat individu dan komunal. Penubuhan itu sendiri juga terbentuk berdasarkan habitus-habitus dari pelaku. Identitas terbentuk karena ada kesamaan persepsi atas sebuah hal.
            Pada hal ini, Dangdut Koplo juga membentuk identitas baru dalam hal musikalitas permainannya. Dangdut Koplo tidaklah lagi mengikuti pakem Dangdut sebagai sebuah musik, tetapi menciptakan baru karena adanya percampuran-percampuran budaya yang terus berkembang. Seperti halnya pada pola tabuhan kendang Dangdut yang lebih monthon dibandingkan dengan Senggakan yang ada pada pola tabuhan kendang Dangdut Koplo. Perbedaan pola kendangan membentuk banyak perbedaan, pada hal ini adalah pada Senggakan, patahan-patahan yang muncul karena pola tabuhan kendang membentuk Senggakan-Senggakan tersebut.
Pola tabuhan kendang Dangdut Koplo memunculkan Senggakan sebagai patahan-patahan, dan efek dalam lagu menciptakan sebuah explosure dalam sebuah lagu. Adanya ledakan-ledakan, klimaks-klimaks yang dibuat pada bagian-bagian lagu memberikan dampak lagu lebih enerjik. Enerjik dengan pola explosure-explosure tertentu. Senggakan merupakan partial pembeda yang sangat dominan pada lagu-lagu yang dibawakan, jikalau sebuah judul lagu dibawakan secara Dangdut dan dibawakan secara Koplo, maka akan berbeda atas lagu yang dibawakan kedua genre tersebut. Dalam penerapannya, pada pola rhytm gitar dan bass bisa memiliki kemiripan permainan, tetapi pada pola kendangan akan berbeda, sehingga efek yang muncul pada lagu akan berbeda pula.
Pembentukan Senggakan pada Dangdut Koplo menjadikan Senggakan sebagai karakteristik musikal dari Dangdut Koplo yang terkuat, bahkan menjadikan identitas musikal tersendiri. Hal tersebut sangat diperkuat dengan beberapa pernyataan dari penyaji dan penonton, dari kalangan penonton, Beny menyatakan bahwa:
“Kalau aku di Dangdut Koplo paling suka itu kendangannya, suaranya itu beda, lebih cepat, permainannya itu variatif dan beda-beda, kendangannya itu bikin aku merhatiin lebih ke situ, kendangan Koplo nyawa musiknya tu mas”
Sedangkan pada pemain, seperti halnya Peppy dari OM New Satria menyatakan bahwa:
“Ya kalau kami pemain tu ngikutin kendangan pengendangnya mas, aba-aba mulai dari kendangan, mau mainnya seperti apa yang bedain kendangannya mas, pemimpin musik kami lah mas”
Dari hal ini, sudah dapat terlihat bahwa kendangan menjadi sesuatu yang utama dalam keberadaannya. Kendangan tidak bisa diindahkan, karena sudah barang tentu kendangan menjadi nyawa dari Dangdut Koplo. Para penonton pun secara tidak sadar juga sudah membuat klasifikasi identitas musikal, dimana kendang pada Dangdut Koplo menjadi unsur musikal terpenting dalam keberlangsungan permainannya. Tidak hanya melulu pada penikmat, para pelaku pun juga menyadari bahwa kendangan menjadi pusat permainan musik Dangdut Koplo.
Dari pernyataan diatas menyatakan bahwa dalam pembentukan identitas sebuah hal terdiri unsur-unsur tertentu yang saling terkait. Seperti halnya yang dinyatakan Burke (2009:7) bahwa: “Dalam identitas, identas seseorang atau kelompok merupakan wilayah dimana bermacam-macam agensi berperan”. Pernyataan Burke menekankan bahwa dalam pembentukannya, terdapat agensi-agensi yang berperan. Terdapat faktor-faktor yang menjadikan sebuah hal menjadi identitas dari hal tersebut. Agensi-agensi disini berperan sebagai pembentuk identitas. Dalam hal ini Dangdut Koplo, permainan kendang bertempo cepat, variatif, dipenuhi Senggakan membentuk identitas musikal tersendiri bagi Dangdut Koplo, dan hal ini akan sangat terasa jika kendangan tidak dimainkan pada permainan repertoar lagu Dangdut Koplo.
Dalam kategori ini bahwa dalam pembentukan identitas dapat terjadi secara sendirinya atau terjadi karena proses interaksi yang dialami dengan unsur lain. Pada hal ini kendangan yang memproduksi Senggakan merupakan hasil proses dari sebuah interaksi. Interaksi budaya, kelompok dan individu yang mengkonstruksi permainan baru dalam Dangdut, yang dikenal dengan kendangan pada Dangdut Koplo. Proses interaksi pun membentuk intepretasi baru yang bahkan dalam perwujudannya akan lebih kaya disesuaikan dengan unsur apa saja yang berinteraksi. Dalam keberlangsungannya, ada hal lain yang penting dalam pembentukan identitas tersebut, point terpenting adalah kesamaan dalam habitus dari interaksi budaya, kelompok atau individu itu sendiri. Erich From dalam Abdillah (2002:202) menyatakan bahwa:
Erich From melihat identitas sebagai masalah yang erat kaitannya dengan persoalan pengalaman-pengalaman manusiawi yang sulit diklasifikasikan dalam hubungannya dengan perasaan, afeksi dan sikap.
Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat pengalaman-pengalaman yang sama dalam pembentukannya, hal ini dapat diartikan bahwa, pembentukan identitas akan bisa berjalan dengan baik jikalau terdapat kesamaan habitus pada hal ini. Interaksi budaya yang terjadi tidak terlalu berbeda atau masih bisa berintegrasi. Hal tersebut akan terasa jika kita melihat Dangdut di daerah Sumatera, tiada Dangdut Koplo menjadi basik permainan mereka, tetapi seperti Dangdut Saluang yang menjadi basik permainan mereka. Selalu terdapat intepretasi baik dari penyaji walaupun penonton, dan intepretasi dapat mengalami keseragaman jika memiliki habitus yang sama.
Dalam pembentukan identitas, para penyaji mengalami laku dan pengalaman yang sama. Dalam hal ini Castells (2010:6-7)  menyatakan bahwa: “Dalam melihat identitas, identitas sebagai sumber makna dan pengalaman manusia, dan dari perspektif sosiologi, semua identitas dikonstuksi”. Hal ini jelas memperkuat pernyataan bahwa identitas dikonstruksi dari interaksi budaya, kelompok atau individu yang memiliki habitus yang sama dalam hidupnya. Proses habitus tidak melulu dari proses belajar, tetapi juga terjadi sejak kecil, dan hal tersebut telah menubuh dalam keberlangsungannya. Pada dasarnya habitus akan menubuh ketika hal tersebut sering dilakukan dan sudah terjadi tanpa disadari pelaku.
Dalam hal ini pembentukan identitas Senggakan juga telah terlihat dari bentuk-bentuk kejawaan yang ada, sehingga pengaplikasiannya akan terasa lebih mudah bagi mereka pelaku yang memiliki habitus yang sama dengan identitas tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan intepretasi. Habitus dari pelaku jikalau berbeda sangat drastis dalam budaya atau sosialnya, maka identitas atau hal tersebut tidak akan berjalan. Dalam pembentukan identitas tersebut, juga membutuhkan legitimasi tidak hanya dari penyaji, tetapi juga penonton, para penonton pun akan dapat lebih menikmati permainan kendangan Dangdut Koplo jikalau mempunyai habitus yang sama pula. Hal ini akan berbeda jikalau Dangdut Koplo diperdengarkan kepada orang yang berasal dari Jawa dengan orang Papua. Ada perbedaan budaya yang menjadi batasan tegas, dan hal tersebut berhubungan dengan penghayatan. Penghayatan tersebut akan terlihat dari geksture, mimic muka, tingkat kenyamanan dari penonton dan pembawaan jiwa dari lagu. Dari sini dapat dilihat, bahwa dalam pembentukan identitas memerlukan intepretasi lokal yang kuat, proses habitus dan penubuhan terhadap seseorang, baik bagi penyaji maupun penonton.

SIMPULAN
Keberadaan Senggakan pada Dangdut Koplo telah berintegrasi dengan unsur lainnya, seperti kendang, goyang, dan alat musik lainnya. Integrasi ini membentuk satu kesatuan baru yang menjadi kekhasan tersendiri dalam keberlangsungannya. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesamaan habitus antara penyaji dan penonton. Habitus juga menjadi alasan terjadinya antara pola produksi dan pola penerimaan penonton. Keberhasilan transmisi ditandai dengan partisipasi dari penonton dalam melakukan Senggakan. Senggakan juga memiliki esensi yang lebih pada masyarakat, dimana Senggakan mempunyai fungsi dan guna dalam kehidupan masyarakat. Hal ini membentuk Senggakan tidak hanya menjadi identitas musikal Dangdut Koplo tetapi juga menjadi identitas kultural masyarakat penikmat Dangdut Koplo.


[1] 60 dibaca tang , 45 dibaca dut dan 61 dibaca tung.
[2]  60 dibaca tang , 45 dibaca dut dan 61 dibaca tung.
[3]  60 dibaca tang , 45 dibaca dut dan 61 dibaca tung.
[4] Identitas masing-masing telah menegosiasikan ekonominya, ketergantungan budaya dan politiknya yang berbeda. Identitas budaya sebagai refleksi pengalaman historis bersama, semacam ‘aneka diri’ yang dimiliki secara bersama-sama oleh orang-orang yang memiliki sejarah dan asal usul yang sama.
[5] Culture identity is a matter of “becoming” as well as of “being”. It belongs to the future as much as to the past. It is not something which already exists, transcending place, time and culture. Culture identities come from somewhere, have histories.

No comments: